Photobucket
Thursday, June 21, 2007
KEBAYAN DENGKUL
APA yang terjadi di lapisan pemerintahan paling bawah sebenarnya merupakan pencerminan perilaku yang ada di atasnya. Para pejabat desa lebih banyak meniru kebiasaan di atasnya. Demikian pula di tingkat kecamatan banyak mengikuti bupati atau wali kotanya dalam bertindak.

Realitas keseharian dari para birokrat desa itu hadir dalam pertunjukan drama realis yang mengangkat kisah Kebayan Dengkul karya Nur Lodzi Hady garapan komunitas Teater Veronika Malang, Jawa Timur (Jatim), Sabtu (20/7) malam, di Gedung Cak Durasim, Kompleks Balai Pemuda Surabaya, Jalan Gentengkali, Surabaya.

Sebelum masuk pada ruang-ruang persoalan yang mengharu-biru bak benang kusut, tokoh Pak Bayan sebagai organ terkecil dari birokrasi pemerintah desa tak mampu mengelak dari tugas-tugas atasannya-Pak Lurah maupun Pak Carik-untuk menagih Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang wajib dibayar oleh rakyat.

Pak Bayan yang menjadi juru tagih PBB itu terpaksa berhadapan dengan seorang tokoh masyarakat yang juga mantan kepala desa, Pak Joyo, yang masih keturunan raden. Situasi sulit dan serba rikuh menggelayuti pikiran maupun perasaannya karena sebagai juru tagih, ia tak bernyali untuk bersikap tegas terhadap mantan lurah itu. Hal itu terkait dengan nepotisme karena pekerjaan yang digelutinya di pemerintahan desa itu atas jasa dari Pak Joyo ketika menjabat kepala pemerintahan desa.

"Ingat kamu itu siapa, dan kamu pun tahu siapa sesungguhnya saya ini, mantan lurah yang memakmurkan desa ini," kata Pak Joyo kepada Pak Bayan.

Arogansi dan kepongahan mantan lurah itu bagaikan sebuah potret diri seorang mantan pejabat yang masih sok kuasa dan paling hebat. Realitas itu tergambar dalam sikap Pak Joyo dengan lagaknya yang angkuh dan sombong ketika berujar, "Kamu tahu untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan itu, gaji pensiunan saya lebih dari cukup untuk melunasi PBB."

Pak Bayan pun cuma terdiam, apalagi ingatan-ingatan masa lampaunya atas jasa Pak Joyo yang pernah memberi sebidang tanah sawah. Tak berdaya, itulah yanbg dialami Pak Bayan ketika harus berhadapan dengan Pak Joyo.

Sosok Pak Bayan sebagai tokoh sentral dalam pertunjukan garapan pekerja teater dari kota sejuk itu mencapai ruang ekspresi dan eksplorasi ketika terjadi dialog antara Pak Lurah, Pak Carik, dan Pak Polo. Pak Polo yang kerap terlambat ngantor karena urusan pribadi yang ia utamakan, dan Pak Carik yang sibuk dengan urusan menghadiri resepsi perkawinan, menjadi bagian dari potret birokrasi pemerintahan desa itu.

***

PERSOALAN lain yang mengemuka dalam sesi pertunjukan ini terbangun penuh tawa-getir tatkala seorang warga desa hendak mengurus kartu tanda penduduk (KTP). "Nah, ini Pak orangnya yang belum bayar PBB," kata Pak Carik.

Meski tercatat sebagai salah seorang warga penunggak, dia pun dapat mengurus KTP asalkan memberikan uang pelicin kepada birokrat desa itu. Sewaktu warga itu memberikan uang Rp 1.000 dari kantungnya, Pak Carik sontak berujar, "Untuk plastik pembungkus (baca laminating-Red) saja Rp 1.250, belum lagi untuk cetak logo pemerintah daerah di KTP itu."

Dan, penonton yang sedari awal mengikuti alur kisah Kebayan Dengkul tak kuat menahan gelak tawa atas potret kebobrokan mentalitas kaum birokrat.

Persoalan lain pun muncul tatkala Pak Bayan pulang ke rumah sehabis gagal menarik tunggakan PBB penduduk desa. Sang istri yang seharian menunggui rumah terpaksa ngomel-ngomel karena persediaan makanan di rumah habis.

Seorang anak perempuannya yang masih sekolah pun merengek-rengek agar uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) segera terlunasi, sedangkan anak lelakinya mendesak bapaknya supaya memperjuangkan lapangan sepak bola. Jika sampai keinginan itu tak terpenuhi, ia akan berunjuk rasa menggulingkan Pak Lurah.

Ocehan sang istri dan kedua anaknya itu, serta beban sebagai juru tagih, membuat beban pikiran dan perasaan Pak Bayan kacau-balau sehingga dia sendiri harus terkapar dan pingsan karena tidak mampu menanggung beban berat yang ditimpakan kepada dirinya itu.

Sebelum terkapar, sekujur tubuh Pak Bayan bergetar-getar menahan rasa pedih atas dirinya yang menjadi obyek orang-orang sekitar, terlebih para birokrat pemerintahan desa yang maunya cuma mendapat pujian dari camat ataupun bupati.

"Pak Bayan harus selalu ingat bahwa membangun dan memakmurkan desa itu harus dengan otak," pesan seorang mahasiswa asal desa tatkala bertemu dirinya dalam sesi kisah Kebayan Dengkul. (TIF)

[resource:harian KOMPAS, Kamis, 25 Juli 2002]

Pentas Kekuatan Kalimat Drama Mangir
dokumentasi: KOMPAS Selasa, 03 Juni 2003
----------------------------------------
KEPIAWAIAN Pramoedya Ananta Toer (78) sebagai penulis saat ini tak terbantah lagi, dialah maestro pengarang di Indonesia saat ini. Alasan inilah yang dijadikan Komunitas Teater Penampungan Indonesia di Malang menggaet Komunitas Teater Mahasiswa Universitas Islam Malang (Unisma) mementaskan drama membaca naskah yang sudah dibukukan dengan judul Drama Mangir yang ditulis Pram, sebutan akrab Pramoedya Ananta Toer.

Pementasan itu berlangsung Selasa (27/5) malam di Unisma. Ada sekitar 150 penonton yang menikmati drama membaca yang terlihat serius itu. Tetapi, kekuatan kalimat Drama Mangir memang patut untuk diandalkan. Sebagian besar penonton mampu bertahan hingga usai dengan durasi sekitar satu jam lebih.

Jumali dari Komunitas Teater Penampungan Indonesia yang menjadi sutradara pementasan kali ini, mengatakan, bagian yang dipentaskan dari buku Pram itu memang hanya bagian ketiga atau terakhir dari buku Drama Mangir. Drama membaca dipilih karena memang di dalam naskah itu ada kekuatan kalimat.

Konsep drama membaca ini pun untuk mengobati kebekuan dialog sebagai rutinitas pementasan setiap kelompok teater. Sekaligus ini ditawarkan sebagai wacana baru bagi pengembangan teater.

Jumali bertutur panjang-lebar mengenai kesan yang diperolehnya sendiri dari buku naskah drama itu. Drama Mangir bertutur tentang penyelenggaraan negara oleh Keraton Mataram di Yogyakarta yang dipenuhi dengan kolusi untuk tipu daya. Selanjutnya, bahkan menobatkan diri sebagai "machiavelis" Jawa yang menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.

DRAMA ini mengisahkan perjalanan hidup tragis yang dialami Ki Ageng Mangir atau Wanabaya muda di suatu wilayah perdikan di bagian selatan Yogyakarta. Kisaran waktu sekitar Abad 18 atau pada masa pemerintahan Pangeran Senopati yang dinobatkan menjadi raja pertama Keraton Mataram di Yogyakarta.

Mangir merupakan pemuda yang memiliki pusaka sakti Tombak Kyai Plered yang disegani Senopati sampai ia menjadi raja Mataram yang pertama. Suatu ketika Raja Senopati ini berulah dengan menetapkan rakyat yang menetap di daerah yang dikuasai Mangir harus memberikan upeti ke Keraton Mataram.

Mangir menolaknya. Alasannya, daerah yang dikuasai itu bagian dari wilayah kerajaan Majapahit yang hanya akan tunduk kepada Raja Majapahit. Akan tetapi, kerajaan Majapahit itu sendiri mulai surut. Itu berarti wilayah tersebut merupakan wilayah perdikan, wilayah yang terbebaskan dari sistem pemerintahan kerajaan mana pun.

Senopati pun berpikir seribu kali untuk berhadap-hadapan langsung, atau menantang duel Mangir. Sebab, Mangir ini teramat sakti dilengkapi pusaka saktinya berupa tombak itu. Jika tombak Mangir diarahkan ke siapa saja, orangnya pasti akan menemui ajal.

Di saat kekecutan hati dialami Senopati inilah, muncul peran Ki Juru Martani yang memberikan solusi-solusi licik. Puteri Pambayun, anak Senopati, dikirim ke wilayah Mangir dalam sebuah rombongan tarian ronggeng. Tujuannya, Pambayun harus berhasil memikat dan mempersuamikan Mangir.

Pambayun pun berhasil. Suatu ketika, Pambayun pun membuka jati diri sebagai putri Raja Senopati di hadapan Mangir, suaminya. Mangir yang bijaksana menerima dengan sepenuh hati.

Usai pengakuan itu pun, Pambayun beritikad mengajak Mangir, suaminya, pergi ke Keraton Mataram menghadap ayah mertua, Sang Raja Senopati. Mangir menyetujuinya. Ki Juru Martani pun mempersiapkan segala sesuatunya di Keraton Mataram agar pusaka sakti milik Mangir tak bisa terbawa olehnya ketika menghadap Senopati. Tujuannya, Mangir akan dibunuh. Sebab, Mangir selama itu adalah pembangkang keputusan raja.

Bagi Jumali, keputusan Ki Juru Martani dengan akal liciknya demi meraih dan mempertahankan kekuasaan seperti itu sebetulnya masih dilestarikan hingga kini. Pembangkangan atau penolakan setiap keputusan penguasa tidak pernah menemukan penyelesaian secara manusiawi. Penghilangan nyawa manusia pembangkang masih dianggap sebagai hukuman setimpal.

Untuk menjatuhkan hukuman itu, penguasa pun menempuh segala cara. Kemudian menghalalkannya untuk menumpas habis setiap pembangkang. Kolusi untuk tipu daya menjadi maklum dipergunakan.

Mangir, setelah menghadap Senopati pun, akhirnya dibunuh. "Di dalam Babad Tanah Jawa, Mangir diceritakan dibunuh dengan kepalanya yang dibenturkan di batu gilang ketika menghaturkan sembah kepada Senopati. Tetapi, Drama Mangir Pram ini tidak," kata Jumali.

Lanjut dia, Mangir di dalam Keraton Mataram yang dikisahkan Pram telah dihabisi prajurit Keraton Mataram secara licik. Itu semua termasuk siasat dan akal licik Ki Juru Martani yang diamini Senopati.

"Pram ingin melecehkan semua yang ada di dalam pusat kekuasaan Keraton Mataram yang dipenuhi kolusi dan menjadikan sebagai machiavelis Jawa," kata Jumali.

JUMALI mengatakan, modus-modus seperti yang dilakukan Ki Juru Martani sampai sekarang tetap harus diwaspadai. Sebab, kehidupan politik dengan sistem kekuasaan Jawa sekarang masih hidup.

"Pihak penguasa sekarang pun telah memasukkan orang- orangnya ke setiap lini masyarakat untuk tujuan meraih dan mempertahankan kekuasaannya," kata Jumali.

Kondisi demikian sangat kecil kemungkinannya dalam menghidupkan demokratisasi di Tanah Air. Sebab, pembangkangan setiap keputusan penguasa selalu membuahkan kolusi tipu daya penguasa untuk menghabisi para pembangkangnya di kemudian hari. (NAWA TUNGGAL)

Wednesday, June 20, 2007
Teater Kampus di Jawa Timur
Senin, 3 Juni 2002 KOMPAS

KELAHIRAN teater kampus secara intrinsik merupakan sinergi antara teater rakyat-tradisional yang mulai memudar, dengan munculnya kaum terpelajar kota yang datang dari pedesaan. Sinergi ini menemukan format teater yang eksploratif. Di satu sisi menggunakan formasi rakyat-tradisional, seperti ludrukan, lenongan maupun kethoprakan-sampakan.

Di sisi lain, memunculkan drama-drama "Barat" yang merupakan bahan studi di kampus, seperti drama dari pengarang Yunani, Rusia, Inggris, Perancis, dan Jerman, antara lain Sophocles, Anton Chekov, August Strinberg, Hendrik Ibsen, Tenneese William, Eugene O'nell, Johann Wolfgang von Goethe, hingga Samuel Beckett, Harold Pinter, dan Eugene Ionesco.

Sedangkan pengarang drama-drama Indonesia yang ambil bagian dalam permulaan teater kampus ini di antaranya Utuy Tatang Sontani, Roestam Effendi, Arifin C Noor, Putu Wijaya, CM Naas, Kirjomulyo, Akhudiat, Iwan Simatupang, dan saduran-saduran yang luar biasa dari WS Rendra, serta drama-drama dari pengarang daerah yang berangkat dari sejarah maupun legenda.

Pertemuan kedua unsur yang relatif berlawanan ini cukup menarik dan unik. Keunikan itu seiring dengan masuknya faham-faham teater, antara rakyat-tradisional dengan teater "Barat" yang didominasi oleh lahirnya aliran realisme, naturalisme, romantisme, hingga absurdisme.

Perdebatan terhadap faham-faham ini tidak pernah selesai, bahkan hingga saat ini. Ketidakselesaian perdebatan tersebut dikarenakan oleh masuknya faham-faham baru secara hampir bersamaan, yang juga melahirkan sinergi baru, meskipun tidak terlalu kental seperti sinergi yang pertama.

Itulah sebabnya, mengapa teater kampus nyaris tidak mampu melahirkan atau memunculkan ideologi-ideologi besar dalam teater. Hal ini berbeda dengan perkembangan di dunia sastra kampus. Meskipun dunia sastra kampus tidak banyak melahirkan karya sastra yang fenomenal, namun sastra kampus mampu menjadi bagian penting dalam lahirnya ideologi-ideologi sastra. Hal ini juga terjadi di dunia seni rupa. Sedangkan di dunia tari dan musik nyaris sama dengan apa yang terjadi pada teater kampus.

Di samping itu, perlu dicatat bahwa teater kampus pada awalnya memiliki posisi yang strategis, dan bergengsi. Hal ini disebabkan oleh adanya kepercayaan masyarakat, bahwa kampus merupakan berlangsungnya proses eksplorasi intelektual yang intensif dan dinamis.

Oleh karena itu, teater-teater di luar kampus banyak belajar dari cara-cara berteater orang-orang kampus. Dan, orang-orang kampus pun menyambut interaksi ini dengan sangat antusias. Maka, terjadilah sinergi ketiga yang makin menarik, dan konstruktif. Tidak ada eksklusivitas. Tidak ada saling serang, dan sinisme yang berlebihan.

Namun demikian, justru teater di luar kampus yang mengalami kompetisi kurang produktif, terutama dengan mulai maraknya lomba-lomba yang menguji kemampuan masing-masing teater. Persaingan internal pelaku teater yang kemudian memandang teater sebagai kekuatan massa, membuat teater di luar kampus mengalami kesulitan komunikasi yang cukup berarti.

Teater kampus memang telah menjadi cermin kekuatan kaum terpelajar di Indonesia. Mereka melakukan eksplorasi secara aktif, agresif, dan eksperimentatif. Bahkan, kalangan teater kampus menjadi motor penggerak bagi lahirnya aksi-aksi kritis.

Dengan adanya aksi-aksi kritis tersebut, dan bersamaan dengan itu peta politik pun berubah menjadi sangat represif dan otoriter, maka ruang gerak teater kampus mengalami pergeseran. Muncul sejumlah pembatasan-pembatasan, hingga pelarangan-pelarangan. Komunikasi antara teater kampus dengan dunia luar pun mulai mengalami penurunan drastis.

Kalangan kampus melakukan interaksi secara sembunyi-sembunyi hingga hilang sama sekali. Hal ini berdampak cukup besar pada kepercayaan masyarakat yang kemudian melihat kampus sebagai menara gading yang mencoba mengasingkan diri dengan masyarakat. Akhirnya, kalangan kampus tetap mencoba berbicara atau menyuarakan aspirasi masyarakat, meskipun itu hanya teriakan-teriakan, dan selanjutnya mengalami distorsi yang melebar. Pembicaraan yang sekadar basa-basi tak terhindarkan lagi.

Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia kampus-sebagai akibat kebijakan politik yang otoriter dan represif, bahkan feodalistik-secara tidak langsung mempersempit ruang interaksi yang pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang kampus mulai dirasuki oleh doktrin-doktrin kebenaran palsu rezim yang berkuasa, baik melalui kurikulum pendidikannya, maupun pada kinerja organik di dalam kampus.

Teater kampus tidak terkecuali, mereka mengalami pembatasan dalam menampilkan lakon-lakon tertentu. Kegiatan intelektual diseleksi sedemikian rupa. Bahkan, berhubungan dengan masyarakat pun menjadi sesuatu yang muskil.

Setelah terjadi perubahan politik yang cukup mendasar, sebagaimana mulai dirasakan sekarang ini, yang terjadi justru semacam romantisme pada ritus kepahlawan. Teater kampus menempatkan dirinya sebagai media untuk melakukan pembedahan terhadap persoalan masyarakat.

Di samping itu, eksperimentasi terhadap berbagai format teater pun mulai semakin bermunculan. Format-format teater tersebut dapat kita bagi ke dalam tiga dimensi pemikiran. Pertama, teater rakyat-tradisional. Kedua, drama realisme. Ketiga, teater eksperimental.

Ketiga format ini, yang paling dominan adalah format eksperimental, seperti yang terjadi pada Pekan Seni Mahasiswa Regional maupun Nasional yang berlangsung di Surabaya dua tahun silam, dan beberapa festival teater yang di gelar beberapa kampus akhir-akhir ini.

Dalam format eksperimental tersebut terdapat beberapa persoalan yang unik, karena dasar pemikiran eksperimental itu lebih merupakan perpanjangan tangan dari format teater rakyat-tradisional dan drama realisme. Karena itu, substansi eksperimental itu sendiri tidak menyentuh sasaran yang sesungguhnya, kecuali hanya pada perbedaan format semata.

Jadi, faham eksperimental itu sendiri justru tidak dimiliki oleh teater kampus di Jawa Timur. Dari sekitar 20 teater kampus-termasuk teater dari fakultas-fakultas, yang aktif di Jawa Timur-90 persen di antaranya menjalani format eksperimental tersebut. Alasan pemilihan format eksperimentral ini kelihatannya lebih disebabkan oleh anggapan adanya kemudahan dalam melakukannya. Bukan oleh kemampuan pemahamannya, atau adanya konteks-konteks sosial, antropologis, maupun politik yang lebih realistik.

Format eksperimental atau yang cukup dikenal dengan format Artudian, dan beberapa penggagas lainnya, seperti Jerzy Grotowski, Eugenio Barba, Peter Brook, Meyerhold, Richard Foreman, maupun Okhlopkov, Savary, dan Vakhtangov. Sedangkan di Indonesia, pandangan tertuju pada Putu Wijaya, Boedi S Otong, Dindon, dan akhir-akhir ini Rachman Sabur.

Format ini bukan saja membangun sinergi dari apa yang pernah dilahirkan sebelumnya, tetapi juga sesuatu yang belum bisa dinamakan. Dari format ini, lahir gagasan-gagasan yang mempertegas penolakan terhadap "penindasan" teks-terutama drama/lakon, yang sebelumnya menjadi pijakan utama dunia teater. Selanjutnya, upaya mengaktualisasikan diri manusia yang sudah terperangkap pada peniadaan esensi kehidupan yang manusiawi dari hubungan antarmanusia maupun antara manusia dengan dunia kesenian.

Bisa dikatakan bahwa teater kampus di Jawa Timur yang menjalani proses eksperimental tersebut memerlukan gizi baru untuk membangun pemahamannya. Gizi baru itu adalah kemauan untuk menjalin kembali ikatan atau interaksi dengan publik. Karena, teater adalah hubungan aktor dan penonton.

Alienasi terhadap publik hanya akan membuat teater sebagai tirani baru. Inilah yang hendak dilawan oleh para pencetus teater eksperimental. Di samping itu, konstruksi publik bukan pada pihak yang dibicarakan. Tetapi, pada pihak dan tingkat yang saling melakukan pertukaran, dan menghindarkan diri narasi besar yang menjadi salah satu khazanah yang dibangun eksperimentasi teater.

Di antara teater kampus yang aktif melakukan eksperimental terhadap khazanah teater dan relasi teks (lakon/drama) adalah Teater Crystal (UPN Veteran), Teater Puska (Universitas Airlangga), Teater Dua Puluh (IAIN Sunan Ampel), Teater Institut (Universitas Negeri Surabaya), Teater Universitas Brawijaya, Teater Universitas Wijaya Putra, Teater Joss (Universitas Dr Sutomo), Teater Unisma, dan teater beberapa fakultas di Universitas Muhammadiyah Malang.

AUTAR ABDILLAH Staf pengajar prodi Sendratasik FBS Universitas Negeri Surabaya, dan asisten staf pengajar luar biasa studi Sosiologi Seni FSD Universitas Kristen Petra Surabaya.

PERHATIAN! Berhubung ini blogger klasik mk ga da navigasi page PREVIOUS-NEXT nya. Jadi pake 'Archives' saja ya.. Thanks!


Video lainnya
Lee Kyung Hae
TERABAS (Breakthrough)
Hidden faces of Globalization
The Dapuranku
Previous Post
Archives
Teman-Teman
Link Exchange





KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia
Blogger Indonesia
Add to Technorati Favorites
baby-blog
blog-share
ini zaman anti teori

resep masakan indonesia
Women's Diary
EPBLOG
Politics blogs
Manifesto
FPPI
Runi
Tengku Dhani
Malang Blog
Kumpul Cerpen
Dee Idea
Tokoh Indo
Puisi Indo
BengkelVenorika
Malik
Ratna Ningsih
Majapahit
Komter 193
Ragil Ragil
Mbak Ratna
Sajaknesia
Alang Liar
Balimoonlight
Theatreonline
Team Support
Sabudi Prasetyo
Youliens
Hedwigpost
Cepeca
Andi Nur
Adi Suara
A P I
Fath Alhadromi
Sekolah Petani
Hidup Petani
Pecangkul










Lodzi
Copy Paste CODE berikut di page anda dan kami akan me-LINK balik

Free money making opportunity


Previous Posts
KEBAYAN DENGKUL | Pentas Kekuatan Kalimat Drama Mangir | Teater Kampus di Jawa Timur | BELAJAR TEATER REALIS MASIH DIANGGAP KUNO | Teater Dasar: Materi Lapang |